Selama 8 Tahun Mendatang, Perbedaan Awal Ramadhan Terjadi 2 kali, Kapan Saja?

bulan_sabit

Yogyakarta – Pemerintah telah menetapkan awal puasa 1437 Hijriyah jatuh pada tanggal 6 Juni 2016. Penetapan tersebut bersamaan dengan penetapan Muhammadiyah yang dikeluarkan melalui Maklumat 1 April 2016 dan telah diprediksi bersamaan. Apakah masih akan ada perbedaan di tahun mendatang? Berdasar perhitungan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, diprediksi akan ada perbedaan penentuan awal puasa oleh pemerintah sebanyak dua kali dalam kurun waktu delapan tahun mendatang atau hingga tahun 2024. Kapan Saja?

Dari data yang dihisab oleh Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Oman Fathurahman, hingga tahun 2024 perbedaan awal puasa antara Muhammadiyah dan Pemerintah akan terjadi pada tahun 2018 dan tahun 2024. Pada tahun 2018 Muhammadiyah akan menetapkan awal Ramadhan 1439 Hijriyah pada hari Rabu 16 Mei 2018, dan Pemerintah pada hari Kamis 17 Mei 2018. Sedangkan untuk tahun 2024 atau 1445 Hijriyah, Muhammadiyah akan menetapkan Ramadhan pada hari Senin 11 Maret 2024, dan Pemerintah akan menetapkan pada hari Selasa 12 Maret 2024. Menurut Oman Fathurahman yang juga dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, perbedaan tersebut dengan catatan bahwa Pemerintah melalui Kementerian Agama RI masih menggunakan metode Imkanur Rukyah 2 derajat, dan Muhammadiyah juga masih setia dengan metode hisab wujudul hilal.

Sebelumnya menurut Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muhammad Rofiq, Pemerintah melalui Kementerian Agama menurut Rofiq menggunakan metode hisab Imkanur Rukyah yang mensyaratkan ketinggian hilal 2 derajat. “Sebenarnya ada banyak cabang dari metode Imkanur Rukyah yang mesyaratkan ketinggian hilal 4 derajat, 6 derajat bahkan lebih. Kebetulan pemerintah menggunakan metode yang mensyaratkan ketinggian hilal 2 derajat diatas ufuk,” ungkapnya pada muhammadiyah.or.id , Sabtu (4/6). Mengapa pemerintah menggunakan Imkanur Rukyah 2 derajat? Menurut Rofiq, angka 2 derajat tersebut diyakini menjadi syarat visibilitas hilal, atau dengan kata lain hilal kemungkinan dapat terlihat saat ketinggiannya mencapai minimal 2 derajat saat matahari tenggelam.

Bagaimana dengan Muhammadiyah? Rofiq menambahkan, Persyarikatan Muhammadiyah saat ini menggunakan metode hisab Wujudul Hilal, yakni memperhitungkan bulan baru berdasarkan hilal yang telah wujud. “Perbedaan mendasar dari metode Imkanur Rukyah 2 derajat, wujudul hilal tidak mensyaratkan ketinggian hilal. Apabila terjadi ijtimak atau konjungsi, dan matahari telah tenggelam dan bulan belum tenggelam berapapun ketinggiannya di akhir kalender bulan, maka dipastikan esoknya adalah bulan baru,” jelasnya.

Saat ini, Muhammadiyah tengah berusaha untuk dapat mengatasi perbedaan pelaksanaan puasa dan hari raya, bukan hanya di Indonesia tetapi di dunia Islam secara umum. Muhammadiyah melalui Ketua Majelis dan Tajdid pada akhir bulan Mei yang lalu hadir dalam Kongres Penyatuan Kalender di Turki.
sumber : muhammadiyah.or.id

Loading

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *