Hukum dan Adab Seputar Idul Adha
Hari Raya di dalam Islam selalu diawali dengan takbir, serta menampilkan suka dan bahagia kepada manusia, agar pria dan wanita bisa mereguknya, dari anak-anak hingga dewasa, semuanya bisa merasakannya.
Itulah Hari Raya kita, diisi dan dipenuhi dengan tahlil dan takbir. Saat kita mengumandangkan adzan, kita bertakbir. Saat berdiri, kita pun bertakbir. Saat mengawali shalat, kita pun bertakbir. Saat menyembelih sembelihan, kita pun bertakbir. Saat bayi dilahirkan, kita pun bertakbir. Saat kita mengarungi peperangan, kita pun bertakbir. Saat Hari Raya tiba, kita sambut dengan takbir. Kita lantunkan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Lailaha Illa-Llah, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wali-Llahi al-hamd.”
Itu semua untuk melaksanakan arahan Allah SWT, “Dan hendaknya Engkau sempurnakan bilangannya, dan Engkau agungkan Allah atas apa yang telah Dia anugerahkan kepadamu, dan agar kamu bersyukur.” [Q.s. al-Baqarah: 185].
Hari Raya mempunyai beberapa kesunahan dan adab. Yang paling penting adalah:
- Mengumandangkan takbir: Disunahkan mengumandangkan dan memperbanyak takbir, sejak malam tanggal 10 Dzulhijjah hingga 13 Dzulhijjah. “Dan hendaknya Engkau sempurnakan bilangannya, dan Engkau agungkan Allah atas apa yang telah Dia anugerahkan kepadamu, dan agar kamu bersyukur.” [Q.s. al-Baqarah: 185]
- Mandi besar dan memakai wewangian: Sebelum mengerjakan shalat Idul Adhha disunahkan untuk mandi besar. Memakai wewangian di seluruh tubuh, termasuk pakaian.
- Memotong kuku tangan dan kaki: Ini bagian dari kesunahan yang diajarkan oleh Nabi saw.
- Memakai pakaian terbaik: Disunahkan memakai pakaian yang paling bagus, dengan catatan tidak berlebihan, atau memaksakan diri. Nabi saw. mempunyai Hullah, sejenis pakaian dan sorban, yang dikenakan untuk dua Hari Raya, shalat Jum’at dan menemui delegasi yang datang menghadap baginda.
- Tidak Makan sebelum berangkat: Ini merupakan kesunahan yang diajarkan oleh Nabi saw. saat Idul Adhha.
- Shalat Idul Fitri dan Adhha di lapangan: Bukan di masjid, kecuali ada udzur, seperti hujan, suhu dingin yang luar biasa. Nabi saw. biasa mengerjakan shalat Idul Fitri dan Adhha di lapangan, yang sekarang dibangun Masjid Ghamamah, padahal shalat di Masjid Nabawi berpahala 1000, dibanding di luar Masjid Nabawi. Ini membuktikan kesunahan shalat di lapangan.
- Wanita disunahkan mengikuti shalat Idul Adhha: Mereka disunahkan mengikuti shalat Idul Adhha di lapangan. Bahkan, wanita haid pun disunahkan hadir di lapangan, meski tidak mengikuti shalat, agar mereka bisa mendengarkan khutbah, bersama yang lain merayakan kebahagiaan, bertemu dan saling mengucapkan selamat Hari Raya. Bahkan, jika mereka tidak mempunyai jilbab, Nabi saw. menganjurkan wanita lain yang mempunyai jilbab untuk meminjami mereka.
- Berangkat ke lapangan, dan kembali ke rumah melalui jalur yang berbeda: Tujuannya agar bisa mengucapkan salam kepada kaum Muslim sebanyak-banyaknya, dan menyampaikan selamat Hari Raya kepada mereka, serta doa keberkahan.
- Mengucapkan Selamat Hari Raya: disertai doa, seperti, “Taqabbala-Llahu minna wa minkum.” Atau sejenisnya.
- Menjauhkan diri dari Maksiat di Hari Raya: Seperti ikhtilath [campur baur pria dengan wanita], berdandan yang menarik perhatian lawan jenis [tabarruj], bernyanyi-nyanyi atau karaoke dan sebagainya..
- Menjalin silaturrahim: Dalam hadits Shahih dinyatakan, “Siapa yang ingin mendapatkan kebahagiaan dengan dilapangkan rizkinya, dan dipanjangkan jejaknya, maka hendaknya menyambung kekerabatan.”
- Menjalin Hubungan Baik dengan Tetangga: Mengeratkan hubungan dan ikatan hati sebelum menjabat tangan, agar bisa menjadi pengantar terwujudnya kerjasama dalam ketaatan dan takwa. Umat ini sangat membutuhkan kerjasama dalam ketaatan.
- Menyembelih kurban: Disunahkan menyembelih kurban bagi yang mampu, bisa untuk diri sendiri, maupun satu ekor untuk satu keluarga. Waktunya bisa tanggal 1o, hingga tanggal 13 Dzulhijjah. Dalam menyembelih kurban juga disunahkan untuk menjaga adab penyembelihan. Nabi saw bersabda, “Jika kamu menyembelih, maka berbuat ihsanlah dalam menyembelih sembelihanmu.” [Hr. Muslim]. Antara lain:
a- Agar pisau yang digunakan hendaknya tajam, sehingga tidak menyiksa hewan yang disembelih.
b- Tidak menyembelih hewan di depan hewan lain yang hendak disembelih, sehingga tidak menimbulkan stress.
c- Tidak menyeret, atau menyakiti hewan yang hendak disembelih, tetapi dituntun dan dibawa ke tempat penyembelihan dengan baik dan lembut. - Membagikan Daging Hewan Kurban: Menyembelih hewan kurban hukumnya sunah, dan merupakan bentuk shadaqah tathawwu’ [sedekah sunah]. Bukan shadaqah wajib [zakat]. Jika shadaqah wajib hanya boleh dilakukan oleh orang Islam, dan dibagikan kepada kaum Muslim, maka shadaqah tathawwu’ yang dilakukan oleh orang Islam, seperti penyembelihan kurban, boleh dibagikan kepada non-Muslim.
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Sumber : muslimahzone.com